Museum Purbakala Sangiran di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah
|
A. Selayang Pandang
Tanah
Jawa dikenal sebagai salah satu tempat hunian manusia purba. Terbukti
dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di berbagai tempat di
Jawa, seperti di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan (Jawa
Tengah), serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur). Temuan pertama
yang dicatat sejarah adalah ekskavasi yang dilakukan Eugene Dubois di
Desa Ngandong, Trinil, Mojokerto, Jawa Timur, yang berhasil menemukan
fosil Pithecanthropus Erectus pada tahun 1893. Sekitar 40 tahun
kemudian, terungkap bahwa selain di Trinil dan Perning, banyak fosil
manusia purba dan peralatannya ditemukan di daerah Sangiran, Kabupaten
Sragen, sekitar 20 kilometer dari Kota Surakarta. Daerah ini merupakan
bagian dari kaki bukit Gunung lawu dan dialiri Sungai Cemoro yang
bermuara di Sungai Bengawan Solo.
Sebelum kedatangan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald atau yang dikenal dengan nama GHR. von Koenigswald, daerah perbukitan (dome)
Sangiran hanya diketahui sebagai perbukitan tandus. Koenigswald adalah
peneliti yang menemukan sejumlah alat serpih dari batuan jaspis dan
kalsedon pada tahun 1934 di daerah Sangiran. Temuan alat-alat
peninggalan manusia purba dalam jumlah besar itu (sekitar 1.000 lebih
alat dari batu) dikenal dengan sebutan “Sangiran Flakes-industry” (Jatmiko, dalam http://indoarchaeology.com).
Temuan
awal tersebut disusul dengan temuan penting berikutnya, yakni fosil
rahang bawah (mandibula) yang diperkirakan sebagai fosil Meganthropus
paleojavanicus, serta fosil Pithecanthropus erectus yang dikenal sebagai
“manusia Jawa”. Penemuan penting ini sontak menarik minat para peneliti
lainnya untuk menelusuri jejak-jejak kehidupan purba di bukit Sangiran.
Penelitian-penelitian selanjutnya melibatkan para pakar dari Indonesia,
seperti T. Jacob dan S. Sartono yang memulai ekskavasi sekitar tahun
1960-an. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Balai
Arkeologi Yogyakarta juga berperan besar dalam penelitian-penelitian
yang berkaitan dengan fosil-fosil purba di Sangiran (Jatmiko, dalam http://indoarchaeology.com).
Hingga
saat ini, terungkap bahwa sekitar 65 persen fosil manusia purba di
Indonesia ditemukan di lokasi ekskavasi Sangiran. Jumlah tersebut
ternyata mencakup sekitar 50 persen dari populasi takson homo erectus di
dunia. Itulah mengapa banyak para peneliti asing tertarik untuk
mengunjungi dan meneliti situs terkemuka ini. Menariknya, kawasan kubah
Sangiran (Sangiran Dome) yang memiliki luas sekitar 56
kilometer persegi, meliputi tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, ternyata
merupakan situs yang sangat kaya. Kawasan ini tidak saja menjadi tempat
ditemukannya berbagai fosil manusia purba, melainkan juga berbagai
fosil makhluk hidup dan tumbuhan yang beraneka, serta lapisan-lapisan
tanah yang “terbuka” secara alami yang sangat bermanfaat bagi
penelitian-penelitian geologis.
Kubah
Sangiran dilalui oleh Kali Cemoro yang membuat kawasan ini secara
alamiah mengalami erosi, sehingga lapisan-lapisan tanah yang berusia
sekitar 2 juta tahun hingga 200 ribu tahun yang lalu, atau lapisan tanah
dari masa pliosen akhir hingga akhir pleistosen tengah, dapat terlihat (http://id.wikipedia.org).
Tak hanya itu, setiap lapisan juga menyimpan informasi mengenai
kehidupan masa lampau yang terekam melalui jenis tanah, batuan,
tumbuhan, fosil makhluk hidup, serta peralatan-peralatan yang digunakan.
Bukan saja fosil-fosil makhluk hidup di darat, kawasan Sangiran juga
menyimpan ribuan fosil-fosil makhluk hidup laut, karena kawasan ini pada
jutaan tahun yang lalu merupakan hamparan dasar laut. Oleh karena
aktivitas geologis, daerah ini kemudian naik menjadi dataran (http://id.wikipedia.org).
Untuk
melindungi situs pubakala ini, pemerintah menetapkan kawasan Sangiran
sebagai cagar budaya ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 070/0/1977, tanggal 5 Maret 1977.
Antusiasme dunia internasional juga terlihat dengan dikukuhkannya situs
Sangiran sebagai salah satu warisan dunia (world heritage) pada
tahun 1996. Penetapan ini dilakukan oleh Komite World Heritage UNESCO
pada ulang tahun ke-20 organisasi ini di Kota Merida, Meksiko, dengan
nomor urut 593 (http://www.lintasdaerah.com).
Selain
menjadi lokasi penelitian, sejak tahun 1986, di kawasan ini dibangun
sebuah museum untuk menampung minat para pelancong mengetahui
jejak-jejak manusia purba. Museum Purbakala Sangiran diresmikan pada 17
Agustus 1988 dengan memamerkan berbagai temuan fosil dan peralatan
manusia purba yang ditemukan di kawasan ini.
B. Keistimewaan
Museum
Purbakala Sangiran atau yang biasa disingkat Museum Sangiran merupakan
museum dengan koleksi fosil dan benda-benda kepurbakalaan mencapai
sekitar 13.809 koleksi, sehingga dianggap sebagai museum purbakala
terlengkap di Indonesia. Dari ribuan fosil tersebut, sekitar 2.934 fosil
disimpan di ruang pameran Museum Sangiran, sementara 10.875 fosil
lainnya disimpan di dalam gudang penyimpanan (http://gemolong.multiply.com).
Museum ini sangat bermanfaat untuk mengetahui atau memperdalam
pengetahuan yang berkaitan dengan teori evolusi, ilmu antropologi,
arkeologi, geologi, serta paleoantropologi.
Mengunjungi
museum yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen ini, Anda
akan mendapati bangunan dengan arsitektur rumah joglo yang dibangun di
atas areal seluas 16.675 meter persegi. Bangunan tersebut terbagi ke
dalam beberapa ruangan, antara lain ruang pameran atau ruang utama,
ruang laboratorium, ruang pertemuan, ruang display bawah tanah, ruang audio visual, serta ruang penyimpanan fosil.
Memasuki
ruang utama, wisatawan akan memperoleh informasi lengkap mengenai
proses ekskavasi yang dilakukan von Koenigswald yang berhasil menemukan
fosil Pithecantropus erectus atau yang juga dikenal dengan nama kera
besar berjalan tegak. Selain Pithecantropus erectus, museum ini juga
memamerkan replika fosil-fosil lainnya, seperti Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecantropus robustus), Meganthropus palaeojavanicus,
Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, Homo neanderthal Eropa, Homo
neanderthal Asia, serta Homo sapiens. Meskipun hanya replika dari fosil
yang asli, namun tiruan tersebut dibuat secara detail dan mendekati
bentuk aslinya. Fosil asli saat ini disimpan di Museum Geologi Bandung
dan Laboratorium Paleoantropologi UGM, Yogyakarta.
Selain
fosil manusia purba, dipamerkan juga berbagai fosil binatang purba,
antara lain fosil gajah purba yang terdiri dari Elephas namadicus,
Stegodon trigonocephalus, Mastodon sp, kerbau (Bubalus palaeokarabau),
harimau (Felis palaeojavanica), babi (Sus sp), badak (Rhinocerus
sondaicus), sapi atau bateng (Bovidae), rusa (Cervus sp), serta kuda nil
(Hippopotamus sp). Ada juga fosil binatang-binatang air yang terdiri
dari buaya (Crocodillus sp), ikan, kepiting, gigi ikan hiu, moluska
(Pelecypoda dan Gastropoda ), serta kura-kura (Chelonia sp).
Untuk
memberikan gambaran mengenai cara hidup manusia purba, museum ini
menyediakan diorama yang menggambarkan patung manusia purba di tengah
ekosistemnya. Kita dapat melihat raut wajah, bentuk tubuh, dan
lingkungan rekaan tersebut untuk memperoleh pemahaman mengenai cara
hidup mereka. Selain itu, dipajang pula berbagai peralatan dari batu,
antara lain alat serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola
batu dan kapak perimbas-penetak. Alat-alat dari jaman arkais tersebut
digunakan oleh manusia purba untuk membunuh binatang, memotong daging
atau tumbuh-tumbuhan, serta berfungsi juga sebagai senjata. Di museum
ini, para pengunjung juga diperlihatkan beberapa jenis batuan yang
terdiri dari batuan meteorit/taktit, kalesdon, diatome, agate, dan
ametis.
Di
samping menimba pengetahuan melalui fosil dan benda-benda purbakala
tersebut, wisatawan juga dapat memperdalam pengetahuan dengan menonton
film tentang sejarah situs Sangiran dan gambaran visual di ruang audio
visual. Film tersebut meggambarkan proses ekskavasi dan gambaran hidup
manusia purba yang berjalan tegak dengan durasi selama 20 menit.
C. Lokasi
Museum
Purbakala Sangiran terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe,
Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sementara situs
Sangiran sendiri (Sangiran Dome) terletak di tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, antara lain Kecamatan Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh.
D. Akses
Situs
Sangiran terletak sekitar 17 kilometer arah utara Kota Solo. Dari Kota
Solo, wisatawan bisa menyusuri jalur Kalijambe untuk sampai ke Museum
Sangiran. Apabila berangkat dari Yogyakarta, maka Anda harus menuju Kota
Solo, kemudian mengikuti jalur ke utara menuju Kalijambe-Sangiran. Jika
berangkat dari Semarang, Anda dapat menempuh jarak sekitar 100
kilometer, melalui Purwodadi, Kalijambe, kemudian Sangiran. Rute
lainnya, dari Semarang bisa melewati Salatiga, Karang Gede (Boyolali),
Gemolong, Kalijambe, kemudian Sangiran. Sedangkan bila berangkat dari
Surabaya, wisatawan harus menempuh jarak sekitar 280 kilometer, melewati
jalur Madiun-Ngawi, kemudian memasuki Sragen dan dilanjutkan menuju
jalur Kalijambe-Sangiran.
E. Harga Tiket
Tiket
untuk memasuki situs Sangiran dan Museum Purbakala Sangiran berbeda.
Untuk memasuki Museum Purbakala Sangiran, wisatawan hanya dikenai biaya
Rp1.500,00 per wisatawan. Namun, sebelum memasuki museum, wisatawan akan
dikenai berbagai komponen biaya lainnya, yaitu biaya masuk kawasan
situs dan biaya parkir. Biaya tiket untuk memasuki kawasan situs
Sangiran dibedakan antara wisatawan dalam negeri dan wisatawan asing.
Wisatawan domestik dikenai tiket sebesar Rp2.000,00, sedangkan wisatawan
asing sebesar Rp7.500,00.
Bagi
Anda yang membawa kendaraan juga dikenai biaya parkir, yakni Rp500,00
untuk motor, Rp1.000,00 untuk mobil, dan Rp5.000,00 untuk bus. Apabila
hendak mengadakan penelitian, maka dikenai biaya tambahan sebesar Rp
50.000,00 per orang. Selain komponen-komponen biaya tersebut, wisatawan
yang ingin memanfaatkan informasi melalui ruang audio visual (minimal
untuk rombongan sekitar 25 orang), maka ada biaya tambahan sebesar Rp
2.000,00 per orang.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Untuk
meningkatkan pelayanan kepada para wisatawan, di kawasan situs Sangiran
telah dibangun sebuah menara pandang. Para wisatawan bisa menikmati
keindahan dan keasrian panorama di sekitar kawasan Sangiran dari
ketinggian melalui menara pandang tersebut. Jika ingin lebih jelas, maka
wisatawan dapat menggunakan teleskop yang disewakan. Tak hanya itu,
situs Sangiran juga telah dilengkapi dengan sarana audio visual, pemandu
(guide), taman bermain untuk anak-anak, serta fasilitas mobil mini (mini car) yang dapat digunakan oleh wisatawan atau peneliti yang ingin berkeliling di situs Sangiran.
Di
tempat ini juga telah disediakan sebuah penginapan yang dapat
dimanfaatkan oleh wisatawan maupun para peneliti. Wisma dengan bentuk
rumah joglo tersebut telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti lobby
atau pendopo yang lengkap dengan perangkat meja-kursi untuk pertemuan,
kamar-kamar yang representatif, ruang keluarga, serta tempat parkir yang
memadai. Wisatawan yang ingin pulang dengan membawa suvenir khas zaman
arkais dapat membelinya di warung-warung suvenir yang ada di sekitar
situs. Suvenir-suvenir khas dari kampung purba ini kebanyakan tiruan
alat-alat manusia purba dari batu, serta patung-patung mini
Pithecanthropus erectus.